Jakarta,Mediatomsus.com-Skandal besar yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya (PERSERO) terus bergulir menjadi sorotan publik. Diduga kuat bahwa ada upaya, sengaja untuk membawanya menuju jurang kebangkrutan oleh oknum pejabat Negara.
Dalam kurun waktu tahun 2018 hingga 2023 yang di pimpin nahkodai dari bukan ahlinya asuransi, paling mendominasi diambil dari luar perseroan Jiwasraya.
Jiwasraya sendiri yang merupakan salah satu BUMN terbesar, di Indonesia telah dikelola oleh sekelompok profesional background bankir dari BRI yang tidak memiliki pengalaman di bidang asuransi.
Namun, upaya pemulihan keuangan Jiwasraya melalui proposal Rencana Penyehatan Keuangan Jiwasraya (RPK) dan restrukturisasinya belum menunjukkan hasil yang berarti.
Bahkan, keadaan Jiwasraya semakin memburuk, dan perusahaan asuransi jiwa tertua yang merupakan legenda perasuransian milik Negara ini terancam tidak dapat menjalankan operasionalnya. 12 September 2023
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) relesse hasil audit investigatif pemeriksaan, melaporkan bahwa ada potential loss kerugian Negara, dalam pengelolaan dana asuransi yang di investasikan oleh Jiwasraya pada instrumen Investasi ; Obligasi, reksadana saham yang ditempatkan menjadi perhitungan kerugian Negara (PKN) sebesar Rp 16,8 triliun.
Selain itu, aset-aset dari para terdakwa Jiwasraya yang telah berhasil disita oleh Kejaksaan Agung RI senilai Rp 18,4 triliun juga telah disita untuk Negara. Seharusnya, Negara sudah mendapatkan keuntungan sekitar Rp 2 triliun dari hasil penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung tersebut.
Namun, yang patut dipertanyakan publik adalah mengapa Jiwasraya, yang disebut sebagai “legenda perasuransian milik Negara,” tampaknya diarahkan menuju kebangkrutan.
Program RPK dengan restrukturisasi polis asuransi justru membobol dana nasabah Jiwasraya yang mencapai 40%, atau sekitar Rp 23,8 triliun. Hal ini, tidak dibenarkan dalam regulasi UU-Perlindungan Konsumen, UU-Dana Pensiun, UU-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU-Perasuransian.
Program restrukturisasi polis asuransi itu seharusnya tidak merugikan kepentingan konsumen asuransi, dan tidak merugikan kepentingan perusahaan asuransi jiwa plat merah (BUMN).
Disini, ada sesuatu yang janggal dalam implementasinya, yang digunakan untuk restrukturisasi polis asuransi dan dialihkan ke asuransi swasta IFG Life.
Sementara itu, dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 20 Triliun lebih telah dialokasikan oleh Pemerintah kepada sektor non-asuransi PT BPUI/IFG, tetapi pertanyaannya adalah, kemana uang tersebut berakhir, sementara konsumen asuransi Jiwasraya tidak menerima pembayaran klaim asuransinya ?
Menghitung total dana yang tersedia, termasuk aset-aset Jiwasraya, sita aset para terdakwa, fundrassing deviden dari anggota holding dan gelontoran dana PMN.
Seharusnya, Jiwasraya menjadi lebih sehat keuangannya memenuhi RBC diatas 120%, memiliki cukup dana untuk pemulihan keuangan cassflow lancar, guna memenuhi kewajibannya terhadap pemegang polis.
Dan BPK-RI sendiri, juga telah merekomendasikan kepada Pemerintah untuk menambah modal penyertaan yang diperlukan sekitar Rp 32,8 triliun.
Sehingga, Jiwasraya dapat beroperasi kembali, bisa membayar seluruh klaim asuransi nasabah yang tertunda akibat dihentikan polisnya. Kemudian, Jiwasraya mampu menunjukkan itikad baiknya dalam membayar penyelesaian tuntutan klaim secara terhormat, yang sudah jatuh tempo pembayaran klaim asuransi dan dibayarkan sesuai dengan perjanjian polisnya.
Menurut Nurullah Ketum PWDPI ,”Penting untuk mencatat bahwa kewajiban Jiwasraya sebenarnya tidak terlalu besar, jika para Direksi Jiwasraya ini mengerti dan jujur dalam menyampaikan narasinya diruang publik.
Jika dibandingkan dengan BUMN lainnya, yang sebentar-bentar minta suntikan modal PMN dari Pemerintah. Bahwa Jiwasraya, selama 22 tahun belum mendapatkan suntikan permodalan Nasional dari Negara, terhitung sejak tahun 1998 s.d 2020, artinya ada pembiaran atau dianak tirikan Jiwasraya ini oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama tersebut.
Jiwasraya, sempat meminta suntikan modal PMN dari Pemerintah pada tahun 2008, untuk menutupi lobang menganga sebesar Rp 6 triliun, tetapi permintaan itu ditolak oleh Pemerintah. Karena bersamaan dengan kasus Bank Century yang juga sedang membutuhkan suntikan permodalan sebesar Rp 6,7 triliun.
Diketahui sebelumnya, total kewajiban kepada nasabah polis asuransi Jiwasraya sebesar Rp 59,7 triliun secara keseluruhan bila dibatalkan seluruh polis asuransinya ( cuttoff_polis). Dan sekarang sudah dilakukan pembatalan polis secara sepihak oleh Direksi Jiwasraya pada 31 Desember 2020.
Dampak dari itu, maka total liabilitas utang Jiwasraya menjadi bengkak per 31 Desember tahun 2021 sekitar Rp 59,7 triliun.
Narasi yang dibangun Direksi Jiwasraya saat itu, seolah-olah tidak seimbang, jomplang gepnya terlalu lebar antara kewajiban dengan backup aset Jiwasraya untuk membayar seluruh Kewajiban Utang polis-polis yang ada. Padahal, tidak seperti itu, narasi itulah yang terus menggerus ketidak percayaan publik terhadap bisnis asuransi.
BUMN PT Asuransi Jiwasraya (Persero), seharusnya berada dalam kondisi keuangan yang sangat sehat, dengan arus kas operasional bisnis yang baik di masa depan.
Jiwasraya, didukung infrastruktur yang sangat kuat jika dibandingkan dengan pesaingnya, fasilitas infrastruktur memadai diseluruh Indonesia 17 kantor Wilayah, dan 74 Kantor Cabang.
Namun, dengan penanganan yang bukan dari ahlinya asuransi kurang transparan, tidak profesional, ketidak jujuran para Direksi itu, keadaan keuangan Jiwasraya menjadi semakin sulit dipahami.
Skandal restrukturisasi Jiwasraya, telah menjadi sorotan publik karena potensi korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat Negara, yang masih aktif menjabat dengan segala kekuatan pengaruhnya dan masih banyak pertanyaan yang harus dijawab.
Masyarakat menuntut kejelasan penyelesaian pembayaran klaim asuransi jiwa, manfaat pensiun, dana tahapan belajar pendidikan anak-anak dan keadilan dalam penanganan kasusnya.
Kemudian, untuk pemulihan dana nasabah Jiwasraya dan hak-haknya yang telah hilang dirampas atas nama modus RPK dan restrukturisasinya tersebut.
Skandal restrukturisasi polis asuransi ini, juga menunjukan lemahnya kontrol DPR-RI, KPK-RI, Kepolisian (POLRI), dan Institusi Negara yang dibuat tidak berfungsi dengan baik, tidak konsistennya penyelesaian yang menambah masalah hukum baru dibidang sektor jasa keuangan.
Patut dipertanyakan peranan Pemerintah, OJK, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan RI dalam posisi pihak yang dituntut untuk menyelesaikan pembayaran kewajiban utang klaim asuransi Negara.
Pentingnya transparansi, kejujuran, integritas, akuntabilitas, dan loyalitas jiwa Negarawan dalam membangun Indonesia, khususnya pengelolaan BUMN demi kepentingan publik yang lebih besar.